Proses jahit menjahit sudah selesai, tubuhku dibalut jarik, pintu persalinan dibuka, mempersilahkan anggota keluarga yg ingin masuk. Mama dan Papaku masuk dengan isak tangis yang luar biasa. Mama langsung memelukku meminta maaf kepadaku karena tidak bisa menemani persalinanku "Maafin mama ya nak.. Mama nggak bisa nemeni kamu melahirkan. Mama nggak tega lihat kamu kesakitan. Maafin mama.. denger kamu nangis aja mama udah gemetaran gak karuan apalagi harus nungguin kamu di dalam.. daritadi mama nunggu di depan saja.. mama titipin kamu ke mertuamu" Aku yang memang selama kontraksi selalu mengingat mama, membayangkan perjuangan mamaku saat melahirkanku, tetapi kenyataannya aku sering menyakiti hatinya karna kita hampir tidak pernah sependapat, juga menangis terseduh sedan mengucapkan terimakasih, terimakasih dan terimakasih..
Berlanjut ke Papa yang juga menangis tak kalah seperti tangisan anak kecil memelukku dan mengucapkan selamat kepadaku. Akupun juga mengucapkan terimakasih sebesar2nya karna Papa telah membesarkanku dengan segala jerih payahnya, sungguh.. betapa aku sebagai anak terlalu banyak dosa kepada mereka terlepas seberapa salah mereka dan seberapa kali aku memberi, tetap saja aku tak akan pernah bisa melunasi besar jasa mereka.
Satu hari terlewati sudah. Para sanak saudara yg bergantian berkunjung sudah habis meninggalkan aku, suami dan arun (putra kami). Kira2 waktu itu pukul 02.30 dini hari. Arun sedari tadi rewel tiba2 mengeluarkan muntah ke-3 kalinya. Kali ini muntah coklat kehitaman, setelah muntah hijau dan muntah coklat. Aku pikir itu sesuatu yg biasa disebut "gumoh". Mungkin karna ASI pertama kali yg diminum jadi kolostrum yg dimuntahkan. Arunpun tidak bisa tidur sampai akhirnya tidur dalam dekapan dadaku.
Pagi hari saat perawat visit kami, aku iseng tanya perihal muntah anakku. Dengan langkah cepat tim medis membawa anakku untuk ke ruang ICU dengan dugaan infeksi lambung karna itu sebenarnya muntah darah. Deg!! Jantungku serasa hampir berhenti berdetak. Anakku diberikan tindakan tes darah, dan pengeluaran isi lambung, dia disuruh puasa selama 6 jam. Aku menurut saja. Berharap tidak ada sesuatu buruk terjadi pada anakku. 6 jam kemudian, aku dipanggil untuk memberi ASI ke ruang ICU. Tidak ada seorangpun yg boleh masuk kecuali aku. Itupun aku harus disterilkan dulu. Suamiku hanya bisa memperhatikan dari balik kaca. Saat pertama kali melihat anakku saat itu, aku hanya bisa menangis sejadi2nya. Bagaimana tidak? Bayi berusia satu hari harus dimasuki selang ke lambungnya melalui mulut, diinfus kakinya, dimasukkan ke dalam kotak incubator. Belum lagi expresi wajahnya yg tersiksa dengan adanya selang di tenggorokannya, hendak muntah berkali2, saat aku beri ASIpun dia ingin muntah lagi karna benda asing itu. Akhirnya dia hanya bisa bersandar di dadaku dan tertidur meski tiap satu jam aku datang untuk memberikan ASI. Begitu seterusnya sampai keesokan harinya, lagi2 anakku tidak mau minum ASI.
Hasilnya, lambung anakku ternyata bersih. Tidak ada infeksi. Tapi hasil tes darah, ada radang di tubuhnya. Aku juga kurang jelas radang apa. Tapi selang itu tak kunjung dikeluarkan. Hingga saat aku hendak memberikan ASI lagi tetapi tetap anakku ingin muntah dan tidak mau, aku bertanya "kapan selang ini dilepas mbk?" Seketika perawat itu langsung menarik selang dalam lambung anakku dan seketika itu juga anakku minum ASIku seakan penuh rasa kehausan. Hiks... ya Allah... ini toh nak mau kamu... pemberian ASIpun berjalan lancar tiap jam. Ya, tiap jam aku harus ke ruang ICU untuk memberikan ASI. Arun dijadwalkan mendapat perawatan selama 3 hari menyesuaikan jumlah 6 suntikan antibiotik yg harus diberikan ke anakku.
Malam ke 2 perawatan Arun, Arun diambil darahnya lagi karna tubuhnya kuning. Ditambah lagi, kaki kirinya bengkak karna efek samping infus hingga tempat memasukkan suntikan harus dipindah ke tangannya. Lagi2 anakku harus disuntik. Disitu perasaan seorang ibupun pasti sangat tersiksa.
Hasil tes darah menunjukkan kuning anakku 11,7. Jika mencapai 12 maka harus disinar di ruangan tertentu. Dalam penyinaran, dia harus ditelanjangi bulat dan matanya ditutup. Orang tua mana yg tega? Suamikupun menolaknya. Kami bisa mengupayakan kesembuhannya dengan memberikan ASI yg banyak. Pemberian ASIpun aku lakukan semaksimal mungkin. Terlebih lagi saat ini Arun sudah berada di ruanganku. 4 hari sudah kami di RS. Sudah tidak sabar pulang. Kami berencana pulang keesokan harinya. Tapi melihat kondisi anakku, pihak rumah sakit tidak mengizinkan pulang dan meminta kami menyetujui tindakan penyinaran karna kuning anakku tak kunjung berkurang, mereka takut bertambah. Untuk mengetahuinya, mereka hendak melakukan tes darah lagi. NO!! cukup acara suntik menyuntiknya anakku. Tidak tega!! Sampai esok haripun saat kami ingin mengurus administrasi mereka tetap tidak menghendaki pulang. Sampai 2 kali suami harus menandatangani pernyataan ketidak setujuan penyinaran dan pulang atas kemauan sendiri. Merekapun akhirnya menghimbau untuk menelateni upaya penyembuhan di rumah dengan cara dijemur dan minum ASI yg banyak.
Sampai di rumah, kamipun ulet menjemur di sinar matahari pagi dan memberi ASI. Syukur Alhamdulillah, beberapa hari kemudian kuningnya semakin mereda, matanyapun kian memutih dan cerah. Hingga sampai saat ini keadaan anak kami semakin membaik. Alhamdulillah..
Tuesday, April 26, 2016
Sepenggal Cerita dibalik Kelahiran Putraku #PART2
Dear you,
Yesi Sehiling adalah nama yang dianugerahkan orang tuaku sejak kecil. Tapi kini berubah menjadi Yesi Iqomaddin semenjak dipersunting suami saya, Fajar Iqomaddin.
Aku biasa dipanggil Kebo. Yah..nama secantik yang aku miliki berubah menjadi Kebo karena kondisi badan yang nggak bisa dibilang seperti model (sejak SMA).
Blog ini sengaja dibuat sebagai wadah agar aku terus berlatih menulis. Maklum..sebagai mahasiswi sastra (sekarang alumni), aku sangat tidak bisa menulis dan tidak pernah menulis. Unik gak sih? Unik aja lah ya...hihihi...Semoga kalian tidak sakit mata membaca tulisanku ☺. Please enjoy!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Jejak, Please. . . =)