"Malu bertanya, sesat di jalan" merupakan peribahasa yang pastinya sudah sering kita dengar sejak di bangku Sekolah Dasar. Peribahasa ini mengajarkan kita agar aktif bertanya jika menghadapi kesulitan dalam bentuk apapun. Kita pasti sangat hafal di luar kepala apa arti dan maksud dari peribahasa tersebut. Namun, kenyataannya praktek tidak semudah teori. Perasaan malu bisa jadi merupakan momok yang sangat menakutkan bagi sebagian orang, meski untuk sekedar bertanya. Karena itulah, Bank Negara Indonesia (BNI) membuka kompetisi blog yang bertema "Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan" untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak lagi merasa malu dan ragu dalam bertanya tentang apapun, kapanpun dan dimanapun. BNI juga telah menyediakan fitur di TWITTER @BNI46 dengan hashtag #AskBNI yang memungkinkan kita mendapatkan informasi lengkap yang kita inginkan.
Malu bertanya pernah terjadi pada saya beberapa tahun silam. Saat itu, saya mendapat undangan pesta ulang tahun teman saya yang alamatnya terdengar asing di telinga. Lebih tepatnya asing bagi telinga saya yang notabene tidak pernah pergi kemana-mana selain pergi ke sekolah atau tempat-tempat di sekitar rumah. Bagi saya jarak itu terlalu jauh karena saya membutuhkan waktu 1,5 jam untuk sampai disana menggunakan motor. Jalan yang saya tempuh ke rumah teman saya itu adalah dari tempat sekolah seperti yang terdapat pada peta dibelakang undangan dimana saya harus menempuh 30 menit untuk sampai ke tempat sekolah terlebih dahulu.
Pesta ulang tahun usai hampir sekitar pukul 5 sore. Saya pun bergegas pulang agar tidak keduluan malam. Awalnya perjalanan terasa mulus hingga pada akhirnya jalan kampung yang sudah dekat dengan rumah saya ditutup karena ada sebuah acara pernikahan. Sontak saya kebingungan bukan main. Saya tidak tahu jalan lain lagi selain yang saya lewati seperti biasanya. Ditambah lagi, bulan sudah menunjukkan senyumnya. Ya, kira-kira pukul 06.30 waktu itu. Saya mengambil jalan tikus yang tersedia di kampung itu. Ah, namanya juga jalan tikus, terlalu rumit. Parahnya, acara pernikahan lain menutup jalan tikus yang saya ambil.Sangat membingungkan. Tidak ada motor lain yang bisa saya ikuti. Jalanan kampung itu begitu sepi, hanya ada beberapa warga yang duduk di teras depan rumah masing-masing. Namun tetap, saya tidak juga bertanya.
Entah sampai dimana saya. Selama satu jam berputar-putar di kampung yang tak juga saya temukan titik terang jalan ke rumah. Hingga tangisan saya pecah ketika saya sampai di jalan buntu yang sangat menyeramkan. Saya bergegas putar balik dan lagi, berputar-putar terus di kampung sampai pada akhirnya memutuskan untuk kembali saja ke jalan besar yang sudah familiar bagi saya. Meski jauh, setidaknya saya tidak akan tersesat. Dan sampailah di rumah saya pada pukul 21.00. Saya membutuhkan waktu 4 jam untuk sampai di rumah hanya karena tidak mau bertanya. Padahal jarak tempat dimana saya tersesat dengan rumah hanya sekitar 2 km yang bisa ditempuh dalam waktu 5-10 menit saja.
Betapa ruginya jika kita mendahulukan rasa malu di atas segalanya. Andai saya mau bertanya, saya tidak akan tesesat di jalan. Berikut keuntungan yang bisa saya dapat jika saya mau bertanya saat itu:
- Saya bisa sampai di rumah 2 jam lebih awal
- Saya bisa mengirit pengeluaran bensin
- Saya bisa menemukan jalan baru yang lebih dekat
- Saya tidak akan setres dan menangis karena berputar-putar kebingungan dan menemukan jalan buntu.
Keesokan harinya, teman saya memberi tahu bahwa sebenarnya jarak rumah kami bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja. Kenapa saya harus membutuhkan 1,5 jam? Karena saya telah memutari kota. Lagi-lagi, karena enggan bertanya saya telah merugikan diri saya sendiri.
Peribahasa bukan hanya sekedar peribahasa. Peribahasa ada sebagai acuan kita dalam menjalani hidup. Semoga pengalaman di atas dapat benar-benar menyadarkan kita tentang pentingnya bertanya dan benar-benar mengamalkan pelajaran dari peribahasa "Malu bertanya, sesat di jalan".
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Jejak, Please. . . =)