By : Yesi Sehiling
Namaku Buto. Sungguh nama yang nggak ada bagus-bagusnya menurutku. Tapi kenyataannya itu adalah pemberian dari orang tuaku. Aku enggak tahu mengapa mereka tega memberiku nama seperti nama hantu penunggu pohon gayam yang dalam penampakannya berbadan tinggi besar, hitam, dan jelek. Sepertinya mereka sadar bahwa penampakanku juga nggak ada ganteng-gantengnya. Bedanya, aku nggak setinggi Buto. Badanku pendek tidak lebih dari 145 cm di usiaku yang sudah tergolong remaja.
Namaku Buto. Sungguh nama yang nggak ada bagus-bagusnya menurutku. Tapi kenyataannya itu adalah pemberian dari orang tuaku. Aku enggak tahu mengapa mereka tega memberiku nama seperti nama hantu penunggu pohon gayam yang dalam penampakannya berbadan tinggi besar, hitam, dan jelek. Sepertinya mereka sadar bahwa penampakanku juga nggak ada ganteng-gantengnya. Bedanya, aku nggak setinggi Buto. Badanku pendek tidak lebih dari 145 cm di usiaku yang sudah tergolong remaja.
Sejak kecil aku sudah menjadi bulan-bulanan. Dari rambut yang keriting, kulit yang hitam, hidung pesek, gigi tongos, bibir lebar dan besar, semuanya lengkap! Menjadikanku bulan-bulanan bagaikan sebuah permainan asyik bagi kebanyakan orang. Hingga sampai saat inipun meski sudah mendapatkan istri yang cantiknya bukan main, tetep saja mereka masih sering mengata-ngataiku. Tapi kali ini agak beda. Dulu mereka hanya bisa mengatakan kejelekan tubuhku, sekarang mereka bisa lebih kreatif, "Hebat ya Buto! Meski wajahnya hancur tapi istrinya cantik luar biasa." Iya, kali ini mereka tak hanya mengatai tapi juga memujiku. Sungguh pujian yang terkadang terasa makjleb nyerinya di dada.
Istriku adalah teman satu SMA ku. Namanya Jihan. Dia bisa dikatakan cewek paling cantik di Sekolah. Tubuhnya tinggi semampai, berkulit putih, berambut panjang, berwajah imut, ah....sungguh bagaikan bidadari langit yang jatuh ke bumi. Deretan cowok mengantri untuk bisa menduduki jabatan sebagai kekasihnya. Termasuk aku. Meski tak sedikitpun dia melirikku. Menerima nasib beruntung seperti itu, sudah barang tentu ada rasa sombong dalam diri Jihan. Kriteria cowok idaman pun harus ganteng sekelas Aliando, smart, kaya, dan pastinya juga nggak kalah ngehitz dari dia. Sedangkan aku? Nggak ganteng, nggak kaya, dan nggak smart. Ya Tuhan...nasibku gini amat ya.
Kisah kami berawal ketika ada acara camping sekolah di Hutan Trawas. Saat itu cuaca ternyata tidak begitu bagus. Bayangkan saja, dalam kegiatan penjelajahan, hujan dengan kejamnya mengguyur kita. Jalan yang kita lalui menjadi becek dan licin. Kita harus sangat hati-hati saat melintas jika nggak mau merelakan tubuh kita jatuh ke dalam jurang yang lumayan dalam. Tapi aku tetap senang-senang saja karena ternyata bisa satu team sama Jihan. Asyik! Mataku bisa terus memperhatikannya meski terasa sakit juga. Nyatanya, cowoknya juga satu team sama kita. Melihat mereka bergandengan sepanjang jalan membuat hati ini terasa panas. Tapi apalah hak ku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan pembantunya juga bukan. Padahal aku rela loh..jadi pembantunya atau barangkali jadi sopirnya. Wah..Aku terlalu lancang jatuh cinta padanya.
Tiba-tiba tangan Jihan terlepas dari genggaman cowoknya dan terpeleset. Tubuhnya bergelantungan memegang akar pohon. Dia menangis, menjerit, meminta tolong, tapi kurang ajarnya si cowoknya itu hanya bisa terbengong dan teriak-teriak juga. Memang terlalu beresiko menolong Jihan saat itu. Bukannya Jihan tertolong, bisa-bisa jatuh kedua-duanya ke dalam jurang. Jeritan Jihan semakin menjadi, berharap ada dari kami yang mau menarik tangannya. Tapi tak satupun yang berani. Hingga Jihan berkata," Siapapun dari kalian yang menolongku, akan aku nikahi! Sumpah!" Tawaran yang sangat menggiurkan bagi kami kaum laki-laki. Tapi tetap saja, nyawa kami hanya satu. Dengan membaca bismillah, aku memberanikan diri memegang tangannya yang sudah hampir terlepas dari akar pohon dengan tangan kananku. Sedangkan tangan kiriku memegang tongkat yang sudah aku tancapkan dalam-dalam di dalam tanah. Dengan sekuat tenaga dan tetap dalam kewaspadaan, perlahan aku menariknya. Teman-teman tadinya yang hanya bisa terbengong akhirnya ikut membantu dengan cara beberapa memegangi badanku dan beberapa membantu menarik tangan Jihan. Sampai di atas kami semua jatuh tersungkur di tanah, kecuali Jihan. Dia terjatuh tepat di tubuhku. Kalian tahu rasanya seperti apa? Jantungku serasa berhenti berdetak. Tuhan...Tolong pause adegan ini, please... Begitu gumam hatiku saat itu.
***
Seperti biasa, setiap pagi istriku selalu menyediakan kopi dan menemaniku duduk bersantai sejenak sebelum kembali ke aktifitas yang membosankan.
"Sayang, aku jadi ingat dulu waktu kita camping SMA. Saat aku mencari kayu bakar, aku bertemu seorang nenek-nenek. Dia bilang aku harus selalu hati-hati. Jangan sampai aku menginjak kodok kalau tidak mau mendapatkan istri yang jelek. Percaya nggak percaya aku tetap waspada. Karena aku nggak bisa ngebayangin wajah anakku jika memiliki bapak sejelek aku dan harus ditambahi dengan ibu yang juga jelek. Syukurnya tak seekor kodokpun aku injak. Makanya, istriku bisa secantik bidadari seperti kamu."
istriku mengangguk-anggukan kepala.
"Oh...pantesan. Waktu itu aku nginjak kodok dua kali!!"
Seketika dia menjerit.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Jejak, Please. . . =)